Movie Geek Evolution merupakan postingan pertama blog keroyokan ini yang kami ambil dari situs www.thedroidyourelookingfor.wordpress.com seperti yang telah kami cantumkan di bawahnya. Namun sebenarnya saya sendiri langsung merasakan kontradiksi dengan kontennya sejak kali pertama saya membacanya. Kontradiksi tersebut bukanlah mengenai ide kontennya, tapi lebih kepada ketidaksesuaian isi dengan situasi penonton di Indonesia. Di antaranya ada yang bisa diadaptasi dengan situasi di Indonesia, dan di antaranya yang lain tidak. Sesuai rencana, kesempatan kali ini akan saya gunakan untuk membahas ketidaksesuaian-ketidaksesuaian tersebut dan memberikan beberapa tambahan penjelasan yang lebih detail – dengan sedikit penekanan, dari sudut pandang saya sendiri (IMPOV).
***
Kata “Sundancicus Robustus” yang mewakili film independent terlihat terinspirasi dari Festival Film Independent terkenal Sundance Film Festival. Dari hal tersebut, bisa diketahui pengkategorian ini sangat dipengaruhi situasi dan kondisi di United States of America. Pembahasan berikutnya akan mengacu pada dua negara terkait, Indonesia dan United States of America, melihat bahwa penonton film di Indonesia berbeda dengan penonton film di USA dengan memperhatikan banyak faktor.
Dalam Movie Geek Evolution, evolusi penonton film disampaikan secara berurutan dari Familymovius Cartoonata, Blockbustericus, Sundancicus Robustus, Oscaria Subtitlus, Filmsnobicus Hipsterata, sampai Celluloid Sapiens. Tahap Familymovius Cartoonata dan Blockbustericus saya rasa cukup umum dan bisa digeneralisasikan pada penonton Indonesia juga, jadi langsung saja saya bahas mengenai kontradiksi tahap Sundancicus Robustus.
Tahap Sundancicus Robustus merepresentasikan tahap penonton film independen, dan tahap Oscaria Subtitlus dilihat tetap merepresentasikan film Oscar. Awalnya saya mengasumsikan tahap Oscar dengan tontonan film Piala Citra (Festival Film Indonesia) dengan perbandingan sama-sama sebagai penghargaan film tahunan tingkat nasional, namun sepertinya penonton film Indonesia lebih terpengaruh, mendengar, dan menonton film Oscar daripada Piala Citra. Tahap ini lebih merepresentasikan film dalam penghargaan film terkenal di dunia (Academy Awards atau Golden Globe). Nama piala Oscar atau Golden Globe lebih dulu akrab di telinga penonton film Indonesia daripada Piala Citra, hal tersebut membuat penonton di Indonesia lebih dulu menonton dan mengenal film-film Oscar atau Golden Globe. Film Independen Indonesia tidak mendapatkan penontonnya dari golongan penonton tahap Oscar, sehingga jelas tahap Sundance tidak bisa berada di bawah tahap Oscar. Tahap Sundancicus Robustus untuk sementara ini disisihkan.
***
Menggantikan tahap Sundancicus Robustus, tahap Oscaria Subtitlus turun satu tingkat, dihadapi langsung setelah tahap Blockbustericus. Penonton film Indonesia sudah terbiasa mengenal film bersubtitle sejak tahap film blockbuster, sehingga mungkin embel-embel subtitles di sini akan cenderung tidak berpengaruh. Menggantikan tahap Sundancicus Robustus, tahap Oscaria akan saya bagi menjadi dua.
Oscaria 1
Slot Sundancicus Robustus yang kosong diisi dengan yang saya namakan tahap transisi – Oscaria 1. Pada tahap Blockbustericus, penonton film yang benar-benar tertarik dengan dunia perfilman akan mulai mencari tempat untuk membagi kisah-kisahnya tentang film. Ia akan berusaha menempatkan dirinya pada suatu tempat bernama komunitas pecinta film. Di komunitas tersebut, ia mulai mengenal lebih banyak film dan mulai mendengar kata Oscar. Penasaran dengan penghargaan film bergengsi tersebut, ia kemudian mencari dan menemukan jenis-jenis film setingkat di atas tontonan Blockbustericus. Proses transisi ini membutuhkan waktu yang signifikan mengingat karakter tontonan dari Blockbustericus ke Oscaria Subtitlus sangat berbeda, namun dibantu pembicaraan-pembicaraan di komunitas dimana ia bernaung, ia akan sedikit demi sedikit membuka jalan pemikiran ‘hiburan’nya ke tingkat yang lebih serius: mengetahui film mana yang bagus dan film mana yang terlihat bagus. Berbeda dengan tahap Oscaria Subtitlus pada postingan Movie Geek Evolution, tahap Oscaria 1 di sini belum mencapai tontonan-tontonan film lama dan film non-Hollywood (foreign language films). Penonton Oscaria 1 masih merasa nyaman dengan tontonan film-film drama Hollywoodnya juga masih setia dengan tontonan film Blockbusternya. Beberapa film Oscar yang ditontonnya mungkin tidak sepenuhnya bisa ia nikmati, tapi sangat berkemungkinan untuk menemukan film-film yang mungkin personal dengannya yang akan membuatnya melihat nilai substansi dari film-film Oscar tersebut. Tahap ini hampir sepenuhnya merupakan pembelajaran dan pengenalan akan film berkualitas dan tidak. Semangat menonton film dan motivasi belajar mengenai seluk beluk film berkembang pesat.
Favorite Movies: Slumdog Millionaire, Avatar, Gladiator
Oscaria 2
Pada tahap Oscaria 2, penonton yang telah mencicipi bagaimana enaknya ‘makanan sehat’, mulai mencari dan menemukan judul-judul film nominasi Oscar, meninggalkan tontonan ‘junkfood’. Film blockbuster masih dan memang akan terus ditonton, namun ia mulai memilah-milah film-film blockbuster tontonannya. Lebih lama bergabung dengan komunitas pecinta filmnya, ia telah mengenal istilah-istilah teknis film seperti score, sinematografi, editing, screenplay, dan sebagainya. Pembagian tahap Oscaria sebenarnya terletak pada kematangan penonton film akan pengetahuannya, di mana di Indonesia, transisi belajar dan lulus (cukup matang untuk menerapkan ilmunya) sering terjadi pada tahap penonton film Oscar. Pada tahap ini, penonton sudah akan berani menjadi reviewer, kritikus, dan blogger. Bagaimanapun, mereka akan cenderung menjadi kritikus formalis, melihat suatu film dari tiap-tiap unsur pembentuknya. Bagaimanakah sinematografinya, bagaimana akting aktor-aktornya, bagaimana dialognya, dan hal-hal teknis lainnya. Hal tersebut merupakan hal yang wajar mengingat konsumsi film-film Oscar lebih sering menantang ke pemikiran teknis, dengan konsekuensinya, melupakan esensi di luar hal teknis pada film yang ditontonnya. Namun pada tahap inilah kritik formalis sebagai dasar apresiasi film telah diakuisisi dan penonton mulai mencapai film-film old classic sampai foreign language film, meskipun masih terbatas pada technically good films. Penonton film Oscaria mengenal film-film yang ditontonnya sebagai seni.
Favorite Movies: Schindler’s List, The Lord of the Rings trilogy
Filmsnobicus Hispterata
Saya rasa tahap ini bisa langsung diadaptasikan dengan kondisi penikmat film di Indonesia. Ditambah selain melafalkan judul film dalam judul aslinya (namun bukanlah keharusan), tahap ini juga meneruskan tahap Oscaria dalam memperluas jenis tontonannya, selain tentunya tetap menonton film luar negeri dengan subtitle. Bosan dengan film Oscar Hollywood populer, Filmsnobicus menemukan kesenangan tersendiri dalam menonton film-film yang diremehkan misalnya karena visualnya yang cheesy atau film miskin special effect. Masalah teknis seperti cerita bisa jadi bukanlah hal yang penting, melainkan tentang seberapa menyenangkannya ke-cheesy-an yang bisa ditawarkan oleh film yang ditonton.
Favorite Movies: Gojira, Plan 9 from Outer Space, An American Werewolf in London
Celluloid Sapiens
“Most importantly, he/she accepts a world in which all films of all qualities and genres can co-exist amongst their respective audiences.”
Celluloid Sapiens menemukan dirinya di antara banyak sekali jenis dan kuantitas film. Di sinilah saya rasa tahap Sundancicus bisa masuk dan menerapkan dirinya. Film hiburan, film festival (Sundancicus Robustus), film lama, film baru, film Hollywood, film non-Hollywood (foreign language films), semua film yang ada adalah merupakan rentang tontonannya.
Celluloid Sapiens telah membuka pikirannya pada berbagai macam film, dengan acuan pencapaiannya, ia telah membuka pikirannya pada film seni. Celluloid Sapiens melihat film sebagai seni, namun juga menyadari eksistensi yang disebutnya ‘film seni’. Film seni maksud saya adalah film yang menembus dinding kenaivan penontonnya. Film yang mengantar pada kepuasan emosi yang sebenarnya melalui pengalaman emosional yang dirasakan dari suatu film. Oleh karena itu, film seni seringkali bisa dibilang sulit untuk ditonton, karena penontonnya harus melemahkan pertahanannya, mencoba melepaskan zona nyaman kenaivannya. Namun demikian, Celluloid Sapiens tidak tentu mensegmentasikan tontonannya pada film seni. Dengan rentang tontonannya yang luas, seringkali Celluloid Sapiens menginginkan film-film yang mengisi kembali zona kenyamanannya.
Favorite Movies: Whatever they’re watching at the time (honorably mentioned: Tarkovsky’s, Bergman’s, Dreyer’s, etc.)
***
Sebuah penjelasan yang cukup serius untuk menanggapi sebuah artikel just for fun, namun diharapkan dapat menjadi referensi berupa guidance untuk berevolusi.