Ulasan dadakan..

image

Entah mengapa saat ini saya ingin membahas sesuatu yang berbau romantis… pada kesempatan kali ini saya akan sedikit mengulas sebuah film romansa yang kurang lebih beberapa bulan yang lalu telah saya tonton…
“Last Chance Harvey”.. entah mengapa film sederhana ini mampu nyantol di hati saya setelah menontonnya.. duet dua artis senior dustin hoffman dan emma thompson mampu membuat jalan cerita sederhananya menjadi sesuatu yang mempunyai kesan “warming heart”.
Jika menyangkut cinta, apakah ada kata terlambat untuk meraih kesempatan?.. dalam Last chance harvey, dua orang asing menemukan sebuah ikatan yang tumbuh setelah pertemuan mereka di London. Hubungan merekapun berhasil menginspirasi diri mereka sendiri untuk percaya pada kesempatan kedua.. untuk percaya sekali lagi dengan hal terindah bernama “cinta”.
“Utterly charming, hoffman and thompson make a winning combo” (Lou Lumenick, New York Post)..

Eolapzzaza..

BATTLE OF JAMESES

BATTLE OF JAMESES

JAMES MCAVOY V JAMES FRANCO

JAMES ANDREW MCAVOY

FULL NAME

JAMES EDWARD FRANCO

32

AGE

33

April 21, 1979

DATE OF BIRTH

April 19, 1978

Port Glasgow, Scotland, UK

BIRTHPLACE

Palo Alto, CA

Slim

Build

Slim

5’7” (1,70 m)

Height

5’10” (1.78 m)

Blue

Eye Color

Brown – Dark

Taurus

Sign

Aries

37 Titles

Filmography

67 Titles

Nominated for Golden Globe

Another 6 wins 14 nominations

Awards

Nominated for Oscar

Another 14 wins 28 nominations

Seharusnya artikel ini dirilis sebelum gong pertarungan blockbuster movies di summer tahun ini berdentang. Kehadirannya sebagai prediksi persaingan box office mungkin akan lebih mengena. Tapi ketika ide untuk mengangkat artikel ini ternyata malah datang belakangan…  kehadirannya sekalipun sebagai review tampaknya takkan menjadi masalah.Menyorot dua aktor potensial bernama depan sama yang tengah di-boost oleh Hollywood menjadi aktor papan atas. James McAvoy dan James Franco. Summer 2011, keduanya dipercaya sebagai leading role actormemimpin barisan cast yang lebih muda di proyek komersil Hollywood.McAvoy tampil dalam prekuel film superhero Marvel, X-Men: First Class. Sedangkan Franco melawan pasukan monyet dalam franchise andalan Hollywood lainnya Rise of The Planet of The Apes.

Awal karir keduanya di Hollywood, setidaknya bagi saya sama sekali tak ada bayangan kalau keduanya akan sukses menjelma sebagai Hollywood action heroes seperti sekarang.

Mengetahui sosok James McAvoy pertama kali di Chronicles of Narnia: The Lion, The Witch and The Wardrobe (2005) sebagai Mr. Tumnus, faun sejenis makhluk dongeng menyerupai manusia berkaki kambing lengkap dengan tanduk dan jenggot kambingnya. Mungkin bukan peran impian bagi seorang aktor muda yang ingin terlihat keren di filmografinya, sekalipun terlibat dalam film yang digadang-gadang sebagai tandingan Harry Potter saat itu.

Pelan tapi pasti, McAvoy mulai menunjukkan pesonanya dalam drama Atonement bareng aktris cantik Keira Knightley. Di sini, McaVoy menunjukkan bakat aktingnya yang prima hingga membuahkan nominasi Golden Globe baginya. Last King of Scotland semakin mengukuhkannya di daftar aktor muda potensial.

Ketika Hollywood tengah mengubah imej sosok jagoannya. Saat bukan eranya lagi jagoan harus gempal dan berotot seperti Sylvester Stallonne dan Arnold Schwarzennegger. Bukan juga harus keren seperti Keanu Reeves atau Tom Cruise. Semenjak Spider-Man melambungkan Tobey Maguire, wajah-wajah nerd sebagai jagoan Hollywood bertaburan semisal Shia LaBeouf, Justin Long, Joseph Gordon- Levitt, Michael Cera, Aaron Johnson, Jesse Eisenberg dan McAvoy salah satunya.

Pasca Atonement, McAvoy menyabet peran Wesley dalam action seru Wanted yang memberinya kesempatan menjajal bibir seksi Angelina Jolie. Tak ayal lagi namanya pun nangkring dalam sejumlah daftar hottest actors dan sexiest man alive setelah itu.

Selanjutnya berperan sebagai Charles Xavier aka Professor X muda di franchise X-Men bisa jadi beban yang lumayan berat bagi McAvoy. Professor X adalah sosok pemimpin yang kharismatik. Dan tanpa Wolverine sebagai tulang punggung franchise ini… entah apa jadinya proyek ini di box office? 

Beralih pada James Franco, menengok perannya di masa lalu sebagai Chris Campbell sosok playboy yang konyol dalam film komedi remaja Whatever It Takes (2000). Franco makin popular di serial tv, Freaks And Geeks. Dari judulnya, bisa dibayangkan siapa menyangka Franco sekarang bertransformasi sebagai aktor drama serius yang menghantarnya ke posisi sekarang ini. Tahun 2001, merebut kemenangan di Golden Globe berkat penggambarannya sebagai sosok James Dean di layar televisi. Kemenangan itu tampaknya yang menghantar Franco tampil sebagai sosok Harry Osborn, sahabat sekaligus seteru Tobey Maguire di trilogy Spider-Man yang mendunia.

Setelah berjibaku dalam peran-peran sidekick dan menjadi leading role di sejumlah film mediocre.  127 Hours menjadi pembuktian aktingnya tampil one man show di thriller 127 Hours.  Pilihannya tampak sesuai dengan selera Oscar yang serta merta menghadiahinya salah satu nominator best actor tahun lalu. Sampai akhirnya, mendapat peran utama untuk proyek andalan penghujung summer tahun ini, Rise of The Planet of The Apes.

Sampai artikel ini ditulis hasil box office X-Men First Class yang telah rilis lebih dulu mencapai 146 juta, sedangkan Rise of The Planet of The Apes unggul dengan 160 juta di peredaran domestic. Namun untuk peredaran ke seluruh dunia First Class unggul tipis 352 juta dibanding Apes yang meraup 345 juta. Mengingat Apes baru sebulan dirilis, tampaknya Apes masih bakal mendulang dolar lebih banyak lagi. Tapi dari angka tersebut, bukanlah hasil yang cukup spektakuler yang akan membuat kebintangan keduanya melejit.

Meskipun dari sisi rating, kedua film ini dinilai cukup bagus dengan rating 8 untuk First Class dan 7.9 untuk Apes menurut IMDB. Tampaknya McAvoy dan Franco harus menyadari bahwa sebagai leading role keduanya bukan menjadi pusat perhatian utama dalam film yang dibintanginya kali ini.

McAvoy tampak kalah bersinar dari kontendernya di film ini Michael Fassbender sebagai Magneto, selain barisan cast muda yang menjanjikan terutama Jennifer Lawrence sebagai mutan biru Mystique.

Sedangkan Franco  kalah pemberitaan dari Andy Serkis yang menghidupkan sosok monyet Caesar di film ini.

Akhirnya, baik McAvoy dan Franco adalah dua aktor di bawah usia 40 yang  puncak kebintangannya masih bisa ditingkatkan. Masih di bawah popularitas Christian Bale dan Leonardo di Caprio.  Dengan daftar panjang proyek-proyek berikutnya, keduanya memang butuh lebih banyak pengakuan di ajang awards atau film  box office yang sukses untuk  bisa mulus menjadi aktor papan atas.

Stills of the Month: Cinema Richie

Let’s ride into our Cinema ‘stills’ Paradiso!

Mulai sekarang Cinema Appreciator berencana memposting still-still film yang menurut kami bagus, memorable, dan memperlihatkan suatu sisi menarik dari film tersebut. Pada kesempatan yang pertama ini kami mengumpulkan still-still random yang bertujuan untuk memperlihatkan kekayaan dunia film. Pada kesempatan berikutnya rencananya kami akan menspesialisasikan posting still film dalam kategori-kategori tertentu.

Random Stills, Cinema Richness, selamat menikmati :).



***


***


***


***


***


***


***


***
***


***


***


***


***
***


***


***


***


***


***


***


***

***


***


***


***


***

Cinema is rich, isn’t it? Dari film kita bisa melihat berbagai emosi: kerinduan, kebosanan, amarah, kesedihan, cinta, kekonyolan, kebahagiaan, dan masih banyak yang lainnya. Kita berbagi pengalaman, berbagi perasaan dengan karakter-karakternya. Kita turut merasakan emosi-emosi mereka dari dalam gambar, gambar yang indah, yang bermakna, yang berbicara dengan bahasa sinematiknya.
Tapi untuk saat ini hanya sebanyak ini saja yang bisa kami sajikan, cause ‘Ooops!’ We’re running out of battery..

A MEMENTO

Artikel ini bukan membahas film yang dibintangi Guy Pearce itu, tapi sebuah kenang-kenangan dari ‘perjalanan’ saya awal mula saya mengenal film di usia belasan hingga sampai saat ini di usia mid-20 ini, hanya puluhan film saja yang masih melekat di ingatan tanpa perlu usaha ekstra yang menandakan bahwa film-film tersebut inilah yang meninggalkan kesan paling mendalam.

Film pertama kali saya jatuh cinta dengan film I Know What You Did berkesan banget buat saya, selain ceritanya yang pintar (untuk ukuran saya yang masih abege kala itu) juga dibintangi para idola remaja yang eye candy. Selanjutnya pilihan film saya pun gak jauh dari tema-tema seperti ini. Dimulai dari trilogy Scream, I Still Know, The Faculty dan Bride of Chucky. Tren film thriller ‘tebak-tebakan’ pembunuhan ini kemudian menjadi terlalu popular sampai film kelas B dengan genre semacam ini pun diimpor ke bioskop kita, sampai enek juga rasanya. Selain itu film dengan tema kayak gini emang paling enak ditonton beramai-ramai. Klo ga genre pembunuhan berantai, pasti horror yang dipilih. Dulu inget nonton Stigmata, tapi gw bisa netral loh menikmati film yang menyangkut agama tertentu ini.

Film karena pengalaman tak terlupakan di Bioskop Saya pernah buat thread diskusi untuk subjek yang satu ini. Hanya 3 film saja yaitu The Lost World, pertama kalinya ke bisokop bareng nyokap, apalagi yang namanya anak kecil pasti selalu enthusiastic dengan yang namanya dinosaurus, kenapa ya? Hehehe. Kemudian The Ring versi Hollywood yang adegan pas hantunya mau k****r dari TV seolah-olah mau keluar dari layar bioskop. It looked so real!!! Yang terakhir waktu itu nonton marathon The Matrix Reloaded sama About A Boy. Pas nonton The Matrix Reloaded, waktu itu penonton menghembuskan nafas bersamaan pas adegan Neo menyelamatkan juru kunci dari ledakan di jalan tol. Oh ya yang About A Boy gw mulai merasakan ‘strange feeling inside’ klo ternyata sebuah film drama yang ‘begitu-begitu saja’ bisa menyentuh saya, tapi gak bisa menjelaskan perasaan apa itu.

Film karena penuturannya tidak biasa atau melebihi ekspektasi Dari dulu saya tidak terlalu amaze dengan film yang menyuguhkan effect including The Matrix. Sekali lagi ini adalah film-film yang saya tidak perlu bersusah payah mengingatnya yang menandakan bahwa film ini leaved the mark begitu dalam, dalam ingatan saya. Pertama ,Seven, di film ini saya baru mengenal yang namanya twist ending (klo waktu di Scream, saya ga ngeh yg begitu juga disebut twist). Merinding rasanya mengetahui ending film ini. Tapi percaya atau tidak saya cukup menyaksikan film ini satu kali saja. Kedua, Memento. Semenjak review film ini saya baca di majalah dengan rating almost full kepengen banget nonton film ini . Saking susahnya minta ampun, saya give up, yo weiss lah, sampai beberapa tahun kemudian Trans TV menanyangkannya. Walaupun saya baru pulang darimana gitu dan lelah tapi penyajian film ini membuat mata saya tetap terbelalak. Ketiga, Inception. Ga usah dibahas terlalu detil ya, pokoknya film ini sangat breathtaking menyuguhkan ide yang benar-benar orisinal dan effect yang jaw dropping, jadi pengen meneliti isi kepalanya Nolan.

Film karena ceritanya memiliki kedekatan emosional Nah kalau yang ini begitu subjektif dan penginterpretasiannya bergantung kepada pribadi masing-masing. Pertama yaitu Crash, sebenernya ini film juga termasuk yang penyajiannya melebihi ekspektasi, bersama dengan ‘sodaranya’ Babel, kedua film ini bisa mewakili saya akan betapa bahayanya sebuah prejudice, sebuah asumsi, daripada membangun sebuah mutual understanding orang lebih suka menjudge terhadap sesuatu yang berbeda dari diri mereka sendiri. Yang ketiga Changeling, film ini didasarkan pada sebuah true story. Film ini membuka mata saya bahwa sebuah peristiwa bisa menggiring pada sesuatu yang lebih besar. Dari peristiwa penculikan akhirnya bisa membongkar sebuah kasus pembunuhan dan kolusi di tubuh aparat penegak hukum. Pada intinya film ini mengajarkan saya tentang misteri takdir, rencana Tuhan memang tak pernah bisa dimengerti sepenuhnya tapi itu selalu yang terbaik. Nah itu dia sekilas kaleidoskop film-film yang cukup membekas dalam ingatan. Sebuah misteri juga yang akhirnya membawa saya berkenalan dengan para penikmat film lainnya, sampai akhirnya bisa berakhir di blog ini.

Movie Geek Evolution Evolved

Movie Geek Evolution merupakan postingan pertama blog keroyokan ini yang kami ambil dari situs www.thedroidyourelookingfor.wordpress.com seperti yang telah kami cantumkan di bawahnya. Namun sebenarnya saya sendiri langsung merasakan kontradiksi dengan kontennya sejak kali pertama saya membacanya. Kontradiksi tersebut bukanlah mengenai ide kontennya, tapi lebih kepada ketidaksesuaian isi dengan situasi penonton di Indonesia. Di antaranya ada yang bisa diadaptasi dengan situasi di Indonesia, dan di antaranya yang lain tidak. Sesuai rencana, kesempatan kali ini akan saya gunakan untuk membahas ketidaksesuaian-ketidaksesuaian tersebut dan memberikan beberapa tambahan penjelasan yang lebih detail – dengan sedikit penekanan, dari sudut pandang saya sendiri (IMPOV).

***

Kata “Sundancicus Robustus” yang mewakili film independent terlihat terinspirasi dari Festival Film Independent terkenal Sundance Film Festival. Dari hal tersebut, bisa diketahui pengkategorian ini sangat dipengaruhi situasi dan kondisi di United States of America. Pembahasan berikutnya akan mengacu pada dua negara terkait, Indonesia dan United States of America, melihat bahwa penonton film di Indonesia berbeda dengan penonton film di USA dengan memperhatikan banyak faktor.

Dalam Movie Geek Evolution, evolusi penonton film disampaikan secara berurutan dari Familymovius Cartoonata, Blockbustericus, Sundancicus Robustus, Oscaria Subtitlus, Filmsnobicus Hipsterata, sampai Celluloid Sapiens. Tahap Familymovius Cartoonata dan Blockbustericus saya rasa cukup umum dan bisa digeneralisasikan pada penonton Indonesia juga, jadi langsung saja saya bahas mengenai kontradiksi tahap Sundancicus Robustus.

Tahap Sundancicus Robustus merepresentasikan tahap penonton film independen, dan tahap Oscaria Subtitlus dilihat tetap merepresentasikan film Oscar. Awalnya saya mengasumsikan tahap Oscar dengan tontonan film Piala Citra (Festival Film Indonesia) dengan perbandingan sama-sama sebagai penghargaan film tahunan tingkat nasional, namun sepertinya penonton film Indonesia lebih terpengaruh, mendengar, dan menonton film Oscar daripada Piala Citra. Tahap ini lebih merepresentasikan film dalam penghargaan film terkenal di dunia (Academy Awards atau Golden Globe). Nama piala Oscar atau Golden Globe lebih dulu akrab di telinga penonton film Indonesia daripada Piala Citra, hal tersebut membuat penonton di Indonesia lebih dulu menonton dan mengenal film-film Oscar atau Golden Globe. Film Independen Indonesia tidak mendapatkan penontonnya dari golongan penonton tahap Oscar, sehingga jelas tahap Sundance tidak bisa berada di bawah tahap Oscar. Tahap Sundancicus Robustus untuk sementara ini disisihkan.

***

Menggantikan tahap Sundancicus Robustus, tahap Oscaria Subtitlus turun satu tingkat, dihadapi langsung setelah tahap Blockbustericus. Penonton film Indonesia sudah terbiasa mengenal film bersubtitle sejak tahap film blockbuster, sehingga mungkin embel-embel subtitles di sini akan cenderung tidak berpengaruh. Menggantikan tahap Sundancicus Robustus, tahap Oscaria akan saya bagi menjadi dua.

Oscaria 1

Slot Sundancicus Robustus yang kosong diisi dengan yang saya namakan tahap transisi – Oscaria 1. Pada tahap Blockbustericus, penonton film yang benar-benar tertarik dengan dunia perfilman akan mulai mencari tempat untuk membagi kisah-kisahnya tentang film. Ia akan berusaha menempatkan dirinya pada suatu tempat bernama komunitas pecinta film. Di komunitas tersebut, ia mulai mengenal lebih banyak film dan mulai mendengar kata Oscar. Penasaran dengan penghargaan film bergengsi tersebut, ia kemudian mencari dan menemukan jenis-jenis film setingkat di atas tontonan Blockbustericus. Proses transisi ini membutuhkan waktu yang signifikan mengingat karakter tontonan dari Blockbustericus ke Oscaria Subtitlus sangat berbeda, namun dibantu pembicaraan-pembicaraan di komunitas dimana ia bernaung, ia akan sedikit demi sedikit membuka jalan pemikiran ‘hiburan’nya ke tingkat yang lebih serius: mengetahui film mana yang bagus dan film mana yang terlihat bagus. Berbeda dengan tahap Oscaria Subtitlus pada postingan Movie Geek Evolution, tahap Oscaria 1 di sini belum mencapai tontonan-tontonan film lama dan film non-Hollywood (foreign language films). Penonton Oscaria 1 masih merasa nyaman dengan tontonan film-film drama Hollywoodnya juga masih setia dengan tontonan film Blockbusternya. Beberapa film Oscar yang ditontonnya mungkin tidak sepenuhnya bisa ia nikmati, tapi sangat berkemungkinan untuk menemukan film-film yang mungkin personal dengannya yang akan membuatnya melihat nilai substansi dari film-film Oscar tersebut. Tahap ini hampir sepenuhnya merupakan pembelajaran dan pengenalan akan film berkualitas dan tidak. Semangat menonton film dan motivasi belajar mengenai seluk beluk film berkembang pesat.

Favorite Movies: Slumdog Millionaire, Avatar, Gladiator

Oscaria 2

Pada tahap Oscaria 2, penonton yang telah mencicipi bagaimana enaknya ‘makanan sehat’, mulai mencari dan menemukan judul-judul film nominasi Oscar, meninggalkan tontonan ‘junkfood’. Film blockbuster masih dan memang akan terus ditonton, namun ia mulai memilah-milah film-film blockbuster tontonannya. Lebih lama bergabung dengan komunitas pecinta filmnya, ia telah mengenal istilah-istilah teknis film seperti score, sinematografi, editing, screenplay, dan sebagainya. Pembagian tahap Oscaria sebenarnya terletak pada kematangan penonton film akan pengetahuannya, di mana di Indonesia, transisi belajar dan lulus (cukup matang untuk menerapkan ilmunya) sering terjadi pada tahap penonton film Oscar. Pada tahap ini, penonton sudah akan berani menjadi reviewer, kritikus, dan blogger. Bagaimanapun, mereka akan cenderung menjadi kritikus formalis, melihat suatu film dari tiap-tiap unsur pembentuknya. Bagaimanakah sinematografinya, bagaimana akting aktor-aktornya, bagaimana dialognya, dan hal-hal teknis lainnya. Hal tersebut merupakan hal yang wajar mengingat konsumsi film-film Oscar lebih sering menantang ke pemikiran teknis, dengan konsekuensinya, melupakan esensi di luar hal teknis pada film yang ditontonnya. Namun pada tahap inilah kritik formalis sebagai dasar apresiasi film telah diakuisisi dan penonton mulai mencapai film-film old classic sampai foreign language film, meskipun masih terbatas pada technically good films. Penonton film Oscaria mengenal film-film yang ditontonnya sebagai seni.

Favorite Movies: Schindler’s List, The Lord of the Rings trilogy

Filmsnobicus Hispterata

Saya rasa tahap ini bisa langsung diadaptasikan dengan kondisi penikmat film di Indonesia. Ditambah selain melafalkan judul film dalam judul aslinya (namun bukanlah keharusan), tahap ini juga meneruskan tahap Oscaria dalam memperluas jenis tontonannya, selain tentunya tetap menonton film luar negeri dengan subtitle. Bosan dengan film Oscar Hollywood populer, Filmsnobicus menemukan kesenangan tersendiri dalam menonton film-film yang diremehkan misalnya karena visualnya yang cheesy atau film miskin special effect. Masalah teknis seperti cerita bisa jadi bukanlah hal yang penting, melainkan tentang seberapa menyenangkannya ke-cheesy-an yang bisa ditawarkan oleh film yang ditonton.

Favorite Movies: Gojira, Plan 9 from Outer Space, An American Werewolf in London

Celluloid Sapiens

“Most importantly, he/she accepts a world in which all films of all qualities and genres can co-exist amongst their respective audiences.”

Celluloid Sapiens menemukan dirinya di antara banyak sekali jenis dan kuantitas film. Di sinilah saya rasa tahap Sundancicus bisa masuk dan menerapkan dirinya. Film hiburan, film festival (Sundancicus Robustus), film lama, film baru, film Hollywood, film non-Hollywood (foreign language films), semua film yang ada adalah merupakan rentang tontonannya.

Celluloid Sapiens telah membuka pikirannya pada berbagai macam film, dengan acuan pencapaiannya, ia telah membuka pikirannya pada film seni. Celluloid Sapiens melihat film sebagai seni, namun juga menyadari eksistensi yang disebutnya ‘film seni’. Film seni maksud saya adalah film yang menembus dinding kenaivan penontonnya. Film yang mengantar pada kepuasan emosi yang sebenarnya melalui pengalaman emosional yang dirasakan dari suatu film. Oleh karena itu, film seni seringkali bisa dibilang sulit untuk ditonton, karena penontonnya harus melemahkan pertahanannya, mencoba melepaskan zona nyaman kenaivannya. Namun demikian, Celluloid Sapiens tidak tentu mensegmentasikan tontonannya pada film seni. Dengan rentang tontonannya yang luas, seringkali Celluloid Sapiens menginginkan film-film yang mengisi kembali zona kenyamanannya.

Favorite Movies: Whatever they’re watching at the time (honorably mentioned: Tarkovsky’s, Bergman’s, Dreyer’s, etc.)

***

Sebuah penjelasan yang cukup serius untuk menanggapi sebuah artikel just for fun, namun diharapkan dapat menjadi referensi berupa guidance untuk berevolusi.

HEREAFTER

HEREAFTER (2010)

Directed By: Clint Eastwood

Starring: Matt Damon, Cecille De France, Jay Mohr, Bryce Dallas Howard, Frankie & George McLaren

Hereafter mungkin bukan karya terbaik dari seorang Clint Eastwood, sutradara pemenang  dua kali Oscar yang sekaligus menghantarkan kedua filmnya Unforgiven dan Million Dollar Baby ditahbiskan sebagai film terbaik di tahun 1992 dan 2004.

Selain itu Eastwood juga sukses menghadirkan film-film drama bagus dalam satu decade terakhir lewat Mystic River, Letters From Iwo Jima, Changeling, Gran Torino dan Invictus yang setidaknya tak pernah luput diperhatikan Oscar.  Jadi Hereafter setidaknya bukan hal tabu untuk dilewatkan, sekalipun agak minim penghargaan dan tak terlalu bersinar di box office.

Hereafter pada dasarnya berkisah tentang 3 orang karakter utamanya yang masing-masing mengalami kegelisahan setelah bersentuhan dengan kematian di sekitar mereka.

George Lonegan (Matt Damon) seorang psychic yang ingin memulai hidup baru, tak mau lagi berhubungan dengan orang-orang yang mengharapkan jasanya sebagai connector dari alam kematian. Marie Lelay (Cecille de France), jurnalis Perancis pasca mengalami near death experience dalam sebuah bencana tsunami. Serta seorang anak laki-laki Marcus (Frankie McLaren) yang baru saja kehilangan saudara kembarnya yang tewas karena kecelakaan.

Eastwood seperti biasa mampu mengalirkan ceritanya dengan lugas, tanpa terasa lambat dan membosankan, sekalipun banyak scene di mana karakter-karakter utamanya ditampilkan dalam posisi sendiri, terpojok dan gundah dalam kegelapan.

Tone gelap memang terasa mendominasi film secara keseluruhan, sementara kilasan cahaya-cahaya terang seperti yang biasa dilihat oleh orang-orang yang mengalami pengalaman hampir mati- hanya muncul sekali-kali. Artinya, film ini lebih berpijak pada realitas dibandingkan fantasi, bila saja Anda terkecoh dengan tampilan posternya yang biru dan diselimuti halimun itu.

Beberapa yang cukup istimewa dan menonjol dari film ini di antaranya adegan tsunami di awal film digarap maksimal kendati singkat. Mungkin itu sebabnya Oscar masih menyisipkan tim visual effect di film ini sebagai nominator-nya.

Selain itu quote  “A life that’s all about death is no life at all,” seperti yang diucapkan Billy (Jay Mohr) tentang George serasa punya makna dalam.  Jadi kesempatan hidup harusnya dimanfaatkan sebaik-baiknya, janganlah perihal kematian di masa datang merenggut hidupmu sekarang.

Rating: 3,5 of 5

The Six Stages of Movie Geek Evolution

FAMILYMOVIUS CARTOONATA

Movie geek Evolution begins at the most basic level. Familymovius Cartoonata for ages for visual stimulation with clear-cut messages of right and wrong, good and evil. He/she is indoctrinated with “life lessons”, and is prone to watching a favorite film over and over and over again. Princes and princesses are abundant. FAVORITE MOVIES:  Snow White; Cars; The Lion King

BLOCKBUSTERICUS

Evolution rolls on with simple, slightly more adult themes. In the male of the species, explosions and comedy are emphasized. In the female, the emphasis is placed on romance and socialization. Superhero movies often satisfy both cravings. More evolved members of the species may use films as part of the early mating ritual, contingent upon avoiding their nemesis- chaperones. FAVORITE MOVIES:  Twilight; Spider-Man

SUNDANCICUS ROBUSTUS

While still not fully understanding how to use the tools of film geekery, Sundancicus has a powerful thirst for knowledge. Having tired of love stories and things blowing up, he/she seeks out the next level of evolution- independent cinema. The peak of Sundancicus’ evolution occurs after tackling lots and lots of movies about heroin and seeking to impress more evolved mating partners. FAVORITE MOVIES: Trainspotting; Reservoir Dogs; Requiem for a Dream

OSCARIA SUBTITLUS

Eventually, independent films and heroin grow tiresome. This prompts evolution. Oscaria begins to seek out award-winning films. He/she no longer refers to subtitled films as “reading”. There is an awareness that lots of incredible movies were created in years other than the recently completed decade. He/she becomes aware of nuances like cinematography, dialogue, and character foils. FAVORITE MOVIES:  Citizen Kane; Rashomon; Annie Hall

FILMSNOBICUS HIPSTERATA

Many may consider this an evolutionary step backwards. However, it’s a necessary evil. Filmsnobicus has learned a great deal about movies, but expresses these lessons in the most aggressive and annoying way possible. Filmsnobicus is liable to refer to foreign films only by their foreign title. An “irony” mutation often develops. Needing a break from classics and subtitled films, yet still seeking to enhance their knowledge, Filmsnobicus may turn to trauma or exploitation. FAVORITE MOVIES Aguirre, der Zorn Gottes; Transmorpher

CELLULOID SAPIEN

He evolutionary step from Filmsnobicus to Celluloid Sapien occurs upon realizing the error of aggressive ways. Motivations shift away; from shark, and towards finding ways to share the love of cinema. This includes learning about the deepest nuances of filmmaking.  Celluloid Sapien is generous with even the most obscure titles in his/tier collection because it results in the acquisition of the greatest desire: enhanced film discussion. Most importantly, he/she accepts a world in which all films of all qualities and genres can co-exist amongst their respective audiences. FAVORITE MOVIES: Whatever they’re watching at the time

thedroidyourelookingfor.wordpress.com